Prioritas

Prioritas

Setiap hari kita dijejali dengan berbagai banyak pilihan yang membuat kita harus, mau tidak mau untuk membuat prioritas. Bukan hal yang gampang untuk menentukan prioritas, mulai dari hal-hal kecil sampai hal-hal yang akan membawa perubahan atau berdampak besar dalam kehidupan kita nantinya.

Sewaktu kecil, aku selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sebenarnya terdengar remeh temeh sekarang, namun dahulu terasa berat untuk diputuskan. Aku masih ingat pertama kalinya menentukan prioritas antara menabung untuk membeli buku cerita kesukaanku atau sepatu yang ada lampunya (dahulu orangtuaku tidak mau membelikan sepatu berlampu yang sangat “in” pada masa itu). Aku suka membaca, dan aku sangat suka buku Tin Tin, bagiku Tin Tin bukan sekadar buku cerita tapi menjadi bahan pembelajaran untuk membuka mataku melihat dunia. Yah, dari buku cerita Tin Tin lah aku tau ada tempat bernama Timbuktu dan burung Dodo adalah spesies burung yang tidak bisa terbang dan sudah punah. Tapi pada saat itu semua teman-temanku memakai sepatu berlampu dan aku tidak ingin “diasingkan”. Namun ternyata ketika semua uang tabunganku terkumpul aku malah membeli seperangkat peralatan pramuka lengkap, karena bagiku itu lebih penting untuk mengikuti kegiatan yang bukan hanya mendidikku menjadi pribadi yang disiplin tapi juga memuaskan rasa ingin tahuku atas segala sesuatu, betapa menyenangkan mengenal berbagai sandi, belajar semaphore dan berkemah dialam terbuka, sejak saat itu aku berkata pada diriku, yah sekolah adalah prioritas utama, dan Pramuka adalah prioritas nomor dua, tidak rugi aku menentukan prioritas, aku tetap berprestasi disekolah dan aku terpilih menjadi Sulung (panggilan ketua untuk pramuka siaga) dan aku berhasil membawa sekolahku menjadi salah satu juara di kompetensi pramuka antar kota di propinsiku.
       
      Setelah berusia diatas 25, ada banyak hal yang terasa begitu penting dan harus didahulukan. Disinilah kemampuanku untuk menentukan prioritas kembali diuji. Karier menjadi prioritas utama, benar, tapi bukan pekerjaan, sejujurnya aku masih meraba karir yang ingin kuraih, walaupun bergelar Sarjana Pendidikan, aku belum begitu tertarik untuk menjadi seorang Pendidik, karena keragu-raguan dan juga rasa ingin tahu yang berlebihan, aku seperti kutu loncat, beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Alhasil walaupun memiliki pekerjaan, sampai sekarang aku merasa aku masih belum meniti karirku, pekerjaan yang kumiliki hanya untuk mencari uang bukan sesuatu yang ingin kugeluti sampai nanti.

Cita-citaku adalah melanjutkan dan meraih gelar Master sebelum usia tiga puluh, sekarang aku sedang melanjutkan kuliahku semester 3 disalah satu Universitas Swasta di Jakarta, awalnya aku fikir aku akan bisa mengatur waktu dengan baik, apalagi perusahaan memberikan izin khusus bagiku untuk pulang lebih awal untuk langsung ke kampus, dan fikirku, aku akan bisa mengerjakan tugas kuliah sepulang kuliah ataupun ketika weekend. Namun itu hanya teori dunia khayalku, kenyataannya, aku pontang-panting tunggang langgang, berlari dari kantor ke kampus setiap hari, dari senin sampai kamis.  Walaupun perusahaan memberikan dispensasi waktu kerja, kenyataannya aku tetap tidak bisa pulang on time karena tumpukan pekerjaan yang sepertinya tidak ada habisnya, belum lagi beberapa pekerjaan yang terpaksa harus menjadi PR ku dirumah. Dan sahabat, S2 bukanlah hal yang mudah, kampus ku terbilang kampus yang sangat disiplin, tidak ada cerita aku bisa datang terlambat atau absen lebih dari 3 kali atau berani tidak mengumpulkan tugas, they really take it serious! Aku kelimpungan antara pekerjaan dan kuliah, walaupun aku berusaha menjalani keduanya dengan seimbang, berusaha menjadikan keduanya prioritas, namun aku kewalahan, aku terlambat masuk kelas, terlambat mengumpulkan tugas, dan tidak punya waktu untuk belajar dan ketika weekend aku sudah terlalu tepar untuk membuka buku. Dan seperti yang dapat diprediksi, pekerjaanku keteteran, beberapa laporan yang ku kerjakan tidak sebagus dan sedetail biasanya, performa ku menurun, sementara nilai semester ku hanya lewat saja, alias tidak sebagus yang aku bayangkan. Aku belum berani menentukan prioritas, pekerjaan penting bagiku, karena sebagai anak rantau, aku butuh pekerjaan untuk menunjang kehidupanku di Jakarta, namun kuliahku tak kalah penting, aku sudah berinvestasi bukan hanya uang, namun fikiran, tenaga dan waktu. Dan akhirnya aku menyerah...

         Sudah satu minggu sejak aku melepaskan pekerjaan kantoranku dan memutuskan menjadi freelancer untuk NGO (terakhir aku bekerja untuk UNICEF), memang tidak pasti namun aku telah memutuskan untuk memprioritaskan kuliahku, aku tidak mau mundur lagi, bukan tanpa pertimbangan, aku fikir yang aku miliki adalah pekerjaan, sarana ku untuk mencari uang, bukan karir, aku ingin benar-benar mencurahkan waktuku untuk kuliah, bukan hanya meraih gelar master namun juga memiliki skill dan knowledge layaknya seorang master. Alhamdulillah, selama menjadi “full time student” aku lebih lega, aku memiliki banyak waktu untuk belajar, membaca buku, jurnal dan artikel, dan ke perpustakaan kampus (yang tidak pertama aku injak sampai senin kemaren, ck..ck..ck) untuk membaca-baca thesis. Aku juga tidak pernah terlambat lagi kekampus, memiliki waktu untuk membaca materi kuliah sebelum masuk kekelas dan menjadi yang pertama dalam menyerahkan tugas ke dosenku. Semua lebih mudah ketika aku menentukan prioritas dan berjalan dengan memprioritaskan prioritasku.
Semoga aku bisa menyelesaikan kuliahku tepat waktu, dan benar-benar layak menyandang gelar master. Setelahnya aku bisa mulai membangun karierku, toh aku juga tidak memulai dari nol (ala pertamina) aku juga memiliki pengalaman kerja yang tidak bisa dianggap remeh (hahahaha, sangat percaya diri sekali aku!).   
...
Sampai aku menerima telepon dari emak dikampung, beliau cuma bilang “Iya nak, cuma jangan lupa umur, menikah itu juga prioritas yang utama lho... kalau gak diprioritaskan nanti lewat lho”. Deg!!!



Komentar

Postingan Populer